NOTA DARI JAKARTA: 'Wong Cilik' Indonesia paling terpukul inflasi

Gambar fail warteg di Indonesia.
BERITAmediacorp: Ada seorang teman berkata "sekarang ini semua harga-harga naik, yang turun hanya harga diri."
Sepertinya ini tepat menggambarkan situasi inflasi yang disiasati dengan 'shrinkflation'.
Buat banyak orang, kalimat ini mungkin menggambarkan dengan tepat betapa beratnya situasi sekarang ketika semua harga bahan pangan (makanan) dan kebutuhan pokok (keperluan asas) naik menyusul keputusan pemerintah yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 3 September lalu untuk menaikkan harga bahan bakar minyak.

SUMBER PENDAPATAN LAIN UNTUK SARA HIDUP
Mencari pekerjaan tambahan - yang umumnya ditambah dengan kalimat "apa saja yang penting halal" - sepertinya sudah menjadi norma baru di tengah-tengah semakin sulitnya situasi ekonomi.
Eko Suyanto, seorang supir ojek (taksi motor) daring (dalam jaringan – online) di Jakarta dengan dua anak kecil termasuk bayi berumur kurang dari satu tahun, termasuk mereka yang mencari pekerjaan tambahan kerana penghasilannya sebagai supir ojek menurun.
"Sekarang ini yang pesan ojek sudah menurun, mereka lebih memilih pakai ojek dari aplikasi lain atau menggunakan kendaraan umum, sementara saingan untuk dapat pesan hantar makanan makin ketat," ujarnya.
Penurunan jumlah penumpang ojeknya terasa setelah operator aplikasi penyedia layanan ojek online atau pesan hantar makanan di mana dia terdaftar telah menaikkan biaya layanannya dan pada akhirnya menurunkan daya beli dan konsumsi (langganan) masyarakat.

Penurunan daya beli masyarakat ini disiasati (ditinjau) oleh pengusaha-pengusaha warung makanan dengan menyiasati menu dan budget yang ada agar usaha tetap jalan dan pelanggan tetap bisa datang walau keuntungan diraih tidak banyak.
Menurut Mukroni, ketua Koperasi Warteg Nusantara atau Kowantara yang mempunyai anggota sekitar 10 ribu warung makanan yang dikenal sebagai warung Tegal atau warteg di kota-kota besar di Indonesia, banyak dari pengusaha warteg yang juga menghadapi beban tambahan dengan kenaikan biaya operasional (operasi) dan harga kontrak tempat usaha mereka. Namun, ada juga yang menyiasatinya dengan shrinkflation atau mengurangi ukuran atau kuantitas produk mereka, bahkan sampai harus ada yang menurunkan kualitas (mutu) masakan mereka.

"Jika tidak bisa mengurangi besaran porsi nasi, kami menyiasatinya dengan mengganti atau mencampur berasnya dengan kualitas lebih rendah. Memang rasa nasinya jadi beda tapi ini kami lakukan demi tetap bisa bertahan dengan harga yang sama, atau menaikkan harga tapi tidak banyak," ujar Mukroni.


KESAN KENAIKAN HARGA MINYAK
Selain menghadapi tekanan inflasi harga bahan pokok dan kenaikan biaya operasi lainnya, pengusaha tauhu dan tempe - dua makanan favorit (kegemaran) orang Indonesia - harus berhadapan dengan fluktuasi (naik turun) harga kedelai (kacang soya) di Amerika Syarikat.
Ketua Pusat Koperasi Produsen Tauhu Tempe Indonesia (Kopti) Jakarta, Sutaryo, produsen (penghasilan) tauhu dan tempe harus menyiasatinya dengan mengurangi ukuran produk mereka atau menaikkan harganya hingga 20 peratus.
"Mana saja yang mungkin dilakukan dan keduanya sudah terjadi," ujar pengusaha kripik (kerepek) tempe itu, yang mengaku sudah merasakan dampak (kesan) kenaikan harga bahan bakar minyak pada produksi kripik tempenya dengan berkurangnya pembeli kerana harga produknya naik. Menurutnya, menaikkan harga tidak bisa dihindari, namun berkurangnya omset (hasil) penjualan telah berakibat dengannya harus mengurangi karyawan dari 10 orang kepada enam orang.
Sebagai gambaran, harga bahan bakar minyak yang selama ini mendapat subsidi pemerintah aitu Pertalite, naik dari 7.650 rupiah setiap liter menjadi 10.00 rupiah setiap liter, solar dari 5.150 rupiah setiap liter kini menjadi 6.800 setiap liter dan Pertamax dari 12.500 rupiah setiap liter menjadi 14.500 setiap liter.
Pemerintah mengatakan subsidi yang selama ini dialirkan untuk bahan bakar minyak akan dialihkan dalam bentuk lain seperti bantuan sosial dan bantuan langsung tunai kepada lebih dari 20 juta keluarga tergolong kurang mampu kerana subsidi yang selama ini disalurkan untuk menekan (mengawal) harga bahan bakar minyak dianggap tidak efektif. Menurut Jokowi, lebih dari 70 peratus subsidi justeru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu aitu pemilik mobil (kenderaan) peribadi.
Komariah, seorang warga Jakarta yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (pembantu rumah), belum lama ini menerima bantuan langsung tunai sebesar 600 ribu rupiah untuk tiga bulan yang diterima oleh suaminya, Pahrudin.
Besaran (nilai) wang selalu relatif, bisa besar untuk beberapa orang, bisa juga dianggap kecil untuk yang lain. Namun Komariah enggan mengatakan bahawa wang sebesar itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan (keperluan) hidup keluarga mereka dengan standar biaya hidup (kos sara hidup) di Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain.
"Saya tetap bersyukur bahawa ada bantuan, seberapa pun tetap membantu. Cukup atau tidak cukup, itu hanya bagaimana kitanya saja [menyikapinya] (menganggapnya)."
Menteri Koordinator Perekenomian Airlangga Hartarto mengutip data Badan Pusat Statistik awal minggu ini bahawa terjadi inflasi sebesar 1.17 peratus pada September yang dipicu (dipacu) oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Sepertinya situasi akan tetap sulit untuk beberapa bulan ke depan kerana inflasi diprediksi (diramal) akan terus terjadi.
KESAN PADA PERCUTIAN HUJUNG TAHUN
Ini khabar yang kurang baik bagi mereka yang merencanakan liburan akhir tahun di Bali atau tempat-tempat lain di Indonesia kerana sangat mungkin biayanya akan melebihi budget (bajet) yang sudah direncanakan.
Warga negara asing yang selama ini merasa biaya liburan di Indonesia cukup terjangkau, bisa jadi akan menemukan hal yang berbeza kerana selain meningkatnya harga makanan dan biaya transportasi (pengangkutan) darat serta akomodasi (penginapan), harga tiket pesawat domestik juga sudah naik sejak pertengahan tahun ini. Jokowi pun sampai harus meminta kepada menteri-menterinya untuk mengatasi masalah mahalnya harga tiket pesawat saat Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 pada pertengahan Ogos lalu.
Walau dibayangi membengkaknya budget (bajet), liburan akhir tahun ke Indonesia bisa jadi juga menjadi kesempatan terakhir bagi mereka yang belum sempat melihat Komodo di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, sebelum harga tiket masuk ke taman nasional itu juga mengalami inflasi dari 150 ribu rupiah setiap orang ke 3.75 juta rupiah setiap orang.
Pemerintah Indonesia menunda kenaikan harga tiket taman nasional ke 1 Januari 2023 setelah keputusan untuk menaikkannya pada 1 Ogos lalu diprotes (dibantah) oleh pelaku industri wisata di Labuan Bajo, kota pesisir di Flores yang menjadi pintu masuk menuju pulau-pulau di mana Komodo berada.
Sepertinya, masyarakat tetap harus beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan shrinkflation, tidak hanya di apa yang mereka konsumsi (gunakan), tapi juga dengan bagaimana mereka akan bepergian (melakukan perjalanan) dan pilihan transportasi (pengangkutan) mereka.
Jadi pilih yang mana, mempertahankan kenyamanan dengan menggunakan ojek dengan biaya (tambang) yang sudah naik, atau mengurangi biaya transportasi (pengangkutan) dengan menggunakan bas angkutan kota? Yang akan liburan ke Indonesia, pilih shrinkflation yang mana, kenyamanan akomodasi (pengangkutan), transportasi darat, makan dan minum serta hiburan, atau tiket pesawatnya? Silakan pilih tapi yang pasti, tetap pilih liburan akhir tahun ke Indonesia ya...
MENGENAI PENULIS:
Ismira Lutfia Tisnadibrata adalah penulis dari Jakarta.
Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini
Langgani buletin emel kami
Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.