NOTA DARI JAKARTA: Ramadan-Raya Bersama Drama Politik di Indonesia

(Gambar hiasan: Lynda Ibrahim)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penghitungan akhir, tidak beda jauh dengan penghitungan cepat (Quick Count) saat pemilihan.
Empat menteri kabinet dipanggil Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keterangan, sesuatu yang belum pernah terjadi untuk gugatan pemilihan politik.
Publik: Ramadan dan Idul Fitri
Di luar semua drama politik, publik Indonesia pada umumnya terlihat berangsur (beransur-ansur) meninggalkan drama politik, tersedot kalender sosial sepanjang Ramadan dan menjelang Idul Fitri.
Publik mengunjungi makam (pusara)keluarga menjelang Ramadan, acara iftar memenuhi akhir pekan dan mengakibatkan kemacetan (kesesakan lalu lintas), bisnes F&B disibukkan tradisi saling mengirim penganan (kudapan). Kebiasaan berpakaian baru saat Hari Raya menarik pelanggan ke pasar kain Tanah Abang dan penjahit Mayestik, selain mendorong pusat perbelanjaan mewah menampilkan berbagai keriaan.
Plaza Senayan menyajikan 'live band' dilatarbelakangi dekor istana Timur Tengah. Plaza Indonesia menawarkan pagelaran mode (pertunjukan fesyen) dari produk-produk lokal (tempatan), seperti Lace by ArtKea, merk yang besar sebagai aksesori rambut pada 1990-an. Pada pekan akhir Maret (hujung minggu terakhir Mac), saat Tunjangan Hari Raya sudah turun bersamaan dengan libur Paskah, pusat perbelanjaan raksasa seperti Pondok Indah Mall sampai sulit menampung mobil pengunjung.
Minggu ini, salon dipenuhi pengunjung yang ingin tampil prima saat berhari raya. Di permukaan, dinamika ini tak ada bedanya dengan roda kehidupan sosial Indonesia tiap Ramadan dan Lebaran.

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
Tahun lalu berkumpulnya keluarga dan komunitas (masyarakat) saat Lebaran cerdik dipergunakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk mengumumkan pencalonan Ganjar, menjadikannya bahan pembicaraan. Tapi setelah setahun kampanye (kempen) politik dan pemilihan, bisa jadi rakyat sudah lelah sekarang - termasuk 42% yang tidak memilih Prabowo-Gibran.
Dan kecuali Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang ekstrem seperti menyatakan hasil Pilpres tidak sah dan memerintahkan Pilpres diulang, kemungkinan besar mayoritas (majoriti) rakyat Indonesia akan melanjutkan hidup dengan pasangan pemimpin baru, terlepas segala kontroversi yang menyertai jalan Prabowo-Gibran menuju tampuk kekuasaan.
Gugatan di Mahkamah Konstitusi
Ketiga pasangan menurunkan tim hukum (pasukan guaman) bertabur nama-nama besar. Anies-Muhaimin memiliki mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, Prabowo-Gibran memasang pengacara top (peguam terkenal) Hotman Paris Hutapea, tim (pasukan) Ganjar-Mahfud dipimpin pejuang hak asasi Todung Mulya Lubis.
Sidang mencatat sejarah kerana menghadirkan menteri kabinet dan sempat mendiskusikan (membincangkan) memanggil Presiden. Pada Jumaat 5 April 2024, empat menteri kabinet ditanya mengenai peranan Pemerintah yang dianggap menguntungkan Prabowo-Gibran, seperti pembahagian bantuan sosial (bansos). Menjelang Pilpres, Jokowi sering membahagikan bahan pokok kepada berbagai area (kawasan) yang dikunjunginya dan di depan Istana.
Keempat menteri ini adalah Menteri Koordinator Ekonomi yang juga Ketua Umum Golkar, partai terbesar di balik Prabowo-Gibran, Menteri Sosial yang berasal dari PDIP, disertai Menteri Kewangan dan seorang Menteri Koordinator lainnya dari kalangan profesional. Inti keterangan mereka; walau bansos (bantuan sosial) telah dipersetujui jumlah dan waktunya oleh parlimen, bansos dari Kementerian Sosial adalah wang tunai yang ditransfer (dipindahkan), sementara Presiden punya anggaran operasional (kos operasi) yang bisa digunakan untuk tujuan sosial.
Bisa diertikan, bantuan bahan pokok yang dibahagikan Jokowi menjelang Pilpres berasal dari anggaran operasional Presiden. Secara hukum dan anggaran, dibolehkan. Secara etis (etika)? Bisa diperdebatkan.
Namun, kerana Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak elok memanggil Presiden yang juga simbol negara, pertanyaan penting tentang niat Presiden membahagikan bantuan barang menjelang Pilpres tak akan terjawab.

Penghitungan akhir Pileg menunjukkan PDIP, penyokong Presiden Jokowi dua periode (penggal) ini, mengambil suara terbanyak di parlimen, diikuti Golkar dan Gerindra, keduanya pendukung utama Prabowo-Gibran.
Penyokong Anies-Muhaimin seperti Nasdem, PKB dan PKS, lolos dengan kerusi lebih sedikit.
.jpg)
Segera setelah Quick Count keluar, Prabowo-Gibran menyatakan secara terbuka untuk menerima lawan-lawannya bergabung. Prabowo sudah bertemu dengan Nasdem dan dikhabarkan bakal bertemu dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Bila berhasil merangkul keduanya, maka koalisi (gabungan) ini akan menguasai tampuk legislatif (perundangan) dan eksekutif - sesuatu yang dicapai Jokowi dan membuat proses 'check and balance' dalam demokrasi Indonesia lemah.
PDI-P bisa mengajak parpol (partai politik) lain untuk beroposisi (menyertai pembangkang) - peranan yang kuat dimainkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, setelah sedekad berkuasa, mahukah PDI-P keluar arena utama?
Sedangkan Nasdem, beranikah menjadi oposisi (pembangkang) pertama kalinya? Bila Nasdem masuk koalisi, mungkinkah PDI-P bersekutu dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara ideologis acap berseberangan (bertentangan) dan akar rumputnya kentara (terang-terangan) bertengkar di media sosial?
Dinamika setelah Idul Fitri yang akan bisa menjawabnya.
MENGENAI PENULIS
Lynda Ibrahim adalah penulis dari Jakarta.
Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini
Langgani buletin emel kami
Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.