Skip to main content

Iklan

Iklan

Komentar

NOTA DARI JAKARTA: Pelancong Perlu Beradab; Hormati Budaya Setempat

Anggaran Waktu Membaca:
NOTA DARI JAKARTA: Pelancong Perlu Beradab; Hormati Budaya Setempat

Sawah di antara penginapan di Ubud (2022). (Gambar: Lynda Ibrahim)

BERITAmediacorp: Bahawa Bali adalah salah satu tujuan wisata kelas dunia, banyak orang tahu.

Bahawa perekonomian Bali cukup tergantung pada turisme (pelancongan), banyak yang faham.

Bahawa Indonesia berusaha mempromosikan banyak propinsi (wilayah) lain selain Bali, banyak yang dengar.
Namun bahawa tak semua sisi turisme (pelancongan) di Bali itu indah, rasanya tak banyak orang maklum.
Sawah di antara penginapan di Ubud (2022). (Gambar: Lynda Ibrahim)
Beberapa tahun kebelakangan ini sebelum pandemik, pemberitaan lokal (liputan berita tempatan) di Bali banyak dihiasi berita perilaku buruk turis (pelancong) seperti mengendarai kenderaan bermotor secara ugal-ugalan (tidak bertanggungjawab), berkeliaran di pemukiman sambil berisik (membuat bising) atau seperti yang sampai ke pemberitaan nasional, lompat menerjang seorang pengendara motor di tengah malam.

Sebahagian besar turis (pelancong) berkelakuan buruk ini terbukti, minimal diduga (segelintir saja), kerana di bawah pengaruh minuman keras (mabuk) atau zat lainnya.

TINGKAH LAKU BURUK PELANCONG ASING

Banyak juga turis yang meresahkan warga Bali kerana mangkir bayar sewa (tidak membayar sewa) atau malah menjadi pengemis untuk membiayai kepulangan ke negara asalnya.

Pandemik memang sempat menyurutkan turisme (pelancongan) di Bali, namun bukan bererti tiada turis problematis (pelancong yang menimbulkan masalah).

Selain turis (pelancong) berkelakuan tidak patut, masalah bertambah kerana banyak turis dengan visa wisata yang ternyata bekerja secara ilegal (secara haram).
Peselancar di Pantai Canggu (2016). (Gambar: Lynda Ibrahim)
Satu-persatu kabar keluar dari Bali, biasanya melalui unggahan (catatan) di media sosial seperti Twitter, Instagram dan TikTok. Turis berucap atau berpose tidak patut, termasuk berpose bugil (bogel), di area (kawasan) yang dianggap sakral (suci) dalam agama Hindu (agama majoriti warga Bali) seperti pohon, gunung, sungai atau pura.

Di sisi lain, banyak turis yang bekerja ilegal (secara haram) sebagai pemandu wisata, pelatih tari tradisional Bali, instruktur (jurulatih) olahraga, dan bahkan pengusaha penyewaan kenderaan dan penginapan - lapangan pekerjaan milik warga lokal (tempatan).
Pura/tempat sembahyang Hindu kecil di jalur pendakian Gunung Batur (2018). (Gambar: Lynda Ibrahim)
Unggahan (catatan) media sosial tersebut dilakukan sendiri oleh para turis, yang kemudian tertangkap radar warga Bali, atau dilakukan oleh warga Bali yang kebetulan menyaksikannya. Median usia populasi yang muda dan penetrasi (capaian) digital yang luas di Indonesia membuat warga Indonesia sangat tanggap (prihatin) di media sosial.

Unggahan-unggahan (catatan-catatan) kontroversial, termasuk tentang perilaku buruk turis, lekas menjalar (menjadi tular).

Netizen Indonesia juga relatif sigap (pantas) menggali lebih jauh tentang sang turis nakal ini, sehingga mudah melaporkannya ke pihak berwajib.

Dari 2 Januari sampai 30 April tahun ini saja Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia telah mendeportasi (mengusir) 101 warga asing dari 31 negara kerana berbagai pelanggaran hukum negara dan norma sosial; 27 warga Rusia, 8 warga British, 7 warga Amerika Syarikat, 7 warga Nigeria, 6 warga Australia dan banyak lagi.

Selain pihak berwajib, sesosok tokoh Bali secara organis (aktif) dan bertahap sekarang menjadi tempat utama warga lokal untuk mengadukan perilaku buruk turis.

Sosok itu bernama Ni Luh Djelantik, desainer (pereka) sepatu dari Bali yang beberapa tahun lalu mulai terjun ke politik.

Sebagai warga Bali, pemeluk agama Hindu, dan pengusaha setempat, Ni Luh Djelantik nampak sangat faham berbagai keresahan warga Bali dan sigap (pantas bertindak) menggunakan akaun Instagramnya sebagai jambatan bagi warga.

Tidak jarang Niluh memulai kontak dengan turis bermasalah, menemui sang turis, sebelum akhirnya melaporkan ke Pemerintah.
Sepatu desain Niluh Djelantik (2022). (Gambar: Lynda Ibrahim)
Saya bukan pemeluk agama Hindu, tapi bahkan saya ikut marah melihat perilaku banyak turis di tempat-tempat sakral (suci) di Bali, terutama kalau dilakukan demi memproduksi konten (kandungan) media sosial. Banyak sekali dari turis-turis kurang ajar ini yang menyebut diri sebagai digital content creator (pencipta kandungan digital), dan demi engagement (mendapatkan reaksi pengikut mereka) sanggup bertingkah laku sekontroversial mungkin.

Mereka tidak peduli bahawa pohon, gunung, sungai, laut dan bangunan yang mereka jadikan lokasi aksi bernilai sakral (suci) dan relijius (berunsur keagamaan)bagi warga setempat.

Di Bali, sekelompok turis bertengkar dengan warga, sampai menulis petisi (petisyen) agar membungkam (melarang) ayam jago (ayam jantan) agar tidak berkokok terlalu pagi - buta terhadap hukum alam bahawa ayam jago berkokok sebelum fajar.

Tak terbatas di Bali, perilaku semena-mena wisatawan telah menjalar ke propinsi (wilayah) lain. Seorang turis asing berbugil (berbogel) di pantai Aceh, sementara seorang pria asing lainnya meludahi imam masjid di Jawa Barat kerana suara pengajian yang diputar di pengeras suara (alat pembesar suara) masjid.

Ketidakpedulian terhadap warga setempat yang membuat turis seenaknya berkendara ugal-ugalan (memandu secara tidak bertanggungjawab), protes (bantahan) terhadap tatacara hidup warga, atau malah bekerja ilegal (secara haram) dengan visa wisata.

Mereka tidak peduli bahawa mereka sebagai pendatang yang seharusnya menghargai warga lokal (tempatan) yang sudah membuka pulaunya untuk didatangi, bukannya merugikan dan mencurangi para warga ini.

Kemudahan peraturan imigrasi Indonesia sangat berbeza dengan saat warga Indonesia akan bertandang ke negara Eropah dan Amerika Syarikat - berbagai dokumen harus dipenuhi untuk membuktikan bahawa orang Indonesia ini mempunyai wang dan tidak terlibat dalam terorisme (pengganasan).

TIDAK PATUHI & HORMATI UNDANG-UNDANG INDONESIA

Tapi hal ini tidak disedari turis (pelancong) yang dengan mudah masuk ke Bali.

Dalam beberapa video yang beredar (tersebar), bahkan umpatan merendahkan warga lokal terdengar jelas dari turis yang bermasalah ini.

Seolah-olah, kerana kedatangan mereka menghidupkan perekonomian dan mata wang mereka lebih kuat berbanding Rupiah, mereka merasa berhak bertingkah laku buruk dan melanggar hukum saat berada di Indonesia.

Walau bukan bersuku Bali, sebagai orang Indonesia saya ikut sakit hati.
Gapura/pintu masuk Desa Adat Seminyak (2022). (Gambar: Lynda Ibrahim)
Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang gencar (giat) mempromosikan tujuan wisata lain selain Bali, misalnya Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bulan ini menjadi lokasi Konperensi (Persidangan) Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN.

Mirip dengan propinsi (wilayah) Bali, propinsi NTT pun kaya akan pantai, gunung, dan benda kriya (kraf tangan)seperti kain tenun tradisional.

Di satu sisi saya senang makin banyak bahagian Indonesia yang dikenal dunia, di sisi lain saya mula khuatir apakah tipe (jenis) turis (pelancong) yang akan datang seperti yang menimbulkan masalah di Bali.

Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya.

MENGENAI PENULIS:
Lynda Ibrahim adalah penulis dari Jakarta.
Sumber : BERITA Mediacorp/nk
Anda suka apa yang anda baca? Ikuti perkembangan terkini dengan mengikuti kami di Facebook, Instagram, TikTok dan Telegram!

Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini

Langgani buletin emel kami

Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.

Iklan

Lebih banyak artikel Berita

Iklan