NOTA DARI JAKARTA: Meraikan Pemikiran Kartini Bukan Setakat Busananya
Anggaran Waktu Membaca:

Sebahagian buku-buku tentang Raden Ajeng Kartini daripada koleksi peribadi Lynda Ibrahim. (Gambar: Lynda Ibrahim)
JAKARTA: Khalayak Singapura yang akrab dengan kebaya mungkin pernah mendengar Kebaya Kartini, kebaya klasik dipadu kain batik. Bisa jadi pernah mendengar bahawa Kartini adalah pejuang pendidikan perempuan di Jawa. Mari mengenal pemikiran Kartini dan emansipasi wanita Indonesia, lebih dari simbol busananya.
SIAPA KARTINI?
Raden Ajeng Kartini dilahirkan sebagai anak bangsawan (aristokrat) di Jawa Tengah pada 21 April 1879. Kakeknya bupati di Demak, sedang ayahnya ialah seorang wedana di Mayong sebelum menjadi bupati di Jepara.
Kartini semasa kecil mendapat akses masuk ke sekolah dasar berbahasa Belanda.
Namun setelah akil baligh, sesuai adat saat itu, Kartini dipingit-- tidak diperbolehkan keluar rumah, sepenuhnya fokus menyiapkan diri sebagai calon isteri dan ibu sampai lamaran yang tepat diterima ayahnya. Kartini harus berhenti sekolah. Dari balik tembok pingitan, Kartini meluaskan wawasan melalui buku, Quran, majalah, juga bersurat-menyurat dengan beberapa sahabat pena berkebangsaan Belanda.
Ditulis 120-130 tahun lalu, surat-surat Kartini mempertanyakan kebebasan gerak, akses pendidikan, aspek agama, hidup di bawah penjajahan, sampai hak perempuan dalam pernikahan. Terlepas dari kemajuan pemikirannya, Kartini tidak kuasa melawan adat dan akhirnya mahu dijodohkan.
Berjabatan bupati di Rembang, suami yang jauh lebih tua dan telah beristeri ini bersimpati pada aspirasi Kartini dan mengizinkannya mendirikan sekolah untuk para anak perempuan. Sekolah dikelola Kartini dengan adik-adik perempuannya sampai akhir hayatnya. Kartini wafat pada usia 25 tahun, 4 hari setelah bersalin.
Sepeninggal Kartini, sekolahnya diteruskan oleh adik-adiknya. Surat-surat Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, pejabat pemerintahan Belanda yang bersama isterinya, Rosa, bersahabat pena dengan Kartini. Buku itu dikenal luas di Indonesia dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang”.
Setelah Indonesia merdeka, Kartini dikukuhkan sebagai pelopor pendidikan perempuan - ulang tahunnya dijadikan hari nasional dan sosoknya yang berkebaya dipopularkan. Sekian generasi perempuan Indonesia merayakan Kartini dengan berkebaya dan bersanggul sejak sekolah.
Walau sebahagian perayaan ini menelaah pemikiran Kartini, jauh lebih banyak yang sebatas visualisasi fizikal. Ditambah dengan lemahnya pengajaran sastera bagi pendidikan formal Indonesia, mayoritas (majoriti) rakyat tahu Kartini sebatas kebaya dan judul buku. Ramai yang elok bergaya Kartini setiap 21 April, tanpa pernah membaca sebaris pun pemikiran Kartini.
MERAYAKAN PEMIKIRAN KARTINI DAN PEJUANG PEREMPUAN INDONESIA
Kritik bahawa perayaan Kartini terjebak pada visualisasi fizikal sudah lama muncul, terutama dari kalangan progresif. Tahun ini, bahkan ada media umum yang membahaskannya. Ini bukan serangan terhadap kebaya Kartini, namun gugatan sahih bahawa perayaan seharusnya adalah pemikiran dan bukannya penampilan. Selain itu, berkembang juga kritik lainnya bahawa kerana Kartini bukan yang pertama apalagi satu-satunya pendiri sekolah perempuan di zaman kolonial, tidak adil memusatkan penokohan emansipasi kepadanya.
Dalam langkah yang patut dipuji, perayaan Kartini oleh Museum Nasional tahun ini seolah menjawab kritik-kritik yang ada. Tidak terbatas Kartini, pameran bertajuk Sunting ini menyoroti tokoh-tokoh perempuan Indonesia sejak abad pertengahan. Bagi yang hadir saat pembukaannya, surat-surat Kartini dibacakan. Selain bermitra dengan Universitas Indonesia dan Indonesia Heritage Agency, Museum Nasional juga bekerjasama dengan Djarum Foundation yang tahun lalu merilis (melancarkan) filem pendek tentang kebaya
SIAPA KARTINI?
Raden Ajeng Kartini dilahirkan sebagai anak bangsawan (aristokrat) di Jawa Tengah pada 21 April 1879. Kakeknya bupati di Demak, sedang ayahnya ialah seorang wedana di Mayong sebelum menjadi bupati di Jepara.
Kartini semasa kecil mendapat akses masuk ke sekolah dasar berbahasa Belanda.
Namun setelah akil baligh, sesuai adat saat itu, Kartini dipingit-- tidak diperbolehkan keluar rumah, sepenuhnya fokus menyiapkan diri sebagai calon isteri dan ibu sampai lamaran yang tepat diterima ayahnya. Kartini harus berhenti sekolah. Dari balik tembok pingitan, Kartini meluaskan wawasan melalui buku, Quran, majalah, juga bersurat-menyurat dengan beberapa sahabat pena berkebangsaan Belanda.
Ditulis 120-130 tahun lalu, surat-surat Kartini mempertanyakan kebebasan gerak, akses pendidikan, aspek agama, hidup di bawah penjajahan, sampai hak perempuan dalam pernikahan. Terlepas dari kemajuan pemikirannya, Kartini tidak kuasa melawan adat dan akhirnya mahu dijodohkan.
Berjabatan bupati di Rembang, suami yang jauh lebih tua dan telah beristeri ini bersimpati pada aspirasi Kartini dan mengizinkannya mendirikan sekolah untuk para anak perempuan. Sekolah dikelola Kartini dengan adik-adik perempuannya sampai akhir hayatnya. Kartini wafat pada usia 25 tahun, 4 hari setelah bersalin.
Sepeninggal Kartini, sekolahnya diteruskan oleh adik-adiknya. Surat-surat Kartini dibukukan oleh JH Abendanon, pejabat pemerintahan Belanda yang bersama isterinya, Rosa, bersahabat pena dengan Kartini. Buku itu dikenal luas di Indonesia dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang”.
Setelah Indonesia merdeka, Kartini dikukuhkan sebagai pelopor pendidikan perempuan - ulang tahunnya dijadikan hari nasional dan sosoknya yang berkebaya dipopularkan. Sekian generasi perempuan Indonesia merayakan Kartini dengan berkebaya dan bersanggul sejak sekolah.
Walau sebahagian perayaan ini menelaah pemikiran Kartini, jauh lebih banyak yang sebatas visualisasi fizikal. Ditambah dengan lemahnya pengajaran sastera bagi pendidikan formal Indonesia, mayoritas (majoriti) rakyat tahu Kartini sebatas kebaya dan judul buku. Ramai yang elok bergaya Kartini setiap 21 April, tanpa pernah membaca sebaris pun pemikiran Kartini.
MERAYAKAN PEMIKIRAN KARTINI DAN PEJUANG PEREMPUAN INDONESIA
Kritik bahawa perayaan Kartini terjebak pada visualisasi fizikal sudah lama muncul, terutama dari kalangan progresif. Tahun ini, bahkan ada media umum yang membahaskannya. Ini bukan serangan terhadap kebaya Kartini, namun gugatan sahih bahawa perayaan seharusnya adalah pemikiran dan bukannya penampilan. Selain itu, berkembang juga kritik lainnya bahawa kerana Kartini bukan yang pertama apalagi satu-satunya pendiri sekolah perempuan di zaman kolonial, tidak adil memusatkan penokohan emansipasi kepadanya.
Dalam langkah yang patut dipuji, perayaan Kartini oleh Museum Nasional tahun ini seolah menjawab kritik-kritik yang ada. Tidak terbatas Kartini, pameran bertajuk Sunting ini menyoroti tokoh-tokoh perempuan Indonesia sejak abad pertengahan. Bagi yang hadir saat pembukaannya, surat-surat Kartini dibacakan. Selain bermitra dengan Universitas Indonesia dan Indonesia Heritage Agency, Museum Nasional juga bekerjasama dengan Djarum Foundation yang tahun lalu merilis (melancarkan) filem pendek tentang kebaya
Dari aktris (pelakon) Christine Hakim dan Ratna Riantiarno sampai pelakon muda Marsha Timothy dan Happy Salma menyuarakan pertanyaan Kartini tentang hidup perempuan di hadapan hadirin yang mayoritas (majoritinya) berkebaya Kartini.
Sebahagian hadirin terlihat terkesiap saat pertanyaan kritis Kartini tentang esensi (hakikatnya) perempuan bila tak menikah atau beranak, hukum pernikahan, bahkan perpajakan kolonial dibacakan lantang. Dan inilah yang seharusnya dilakukan setiap 21 April, bersama-sama membaca pemikiran Kartini untuk melihat betapa relevannya dengan kondisi perempuan saat ini.
Sebahagian hadirin terlihat terkesiap saat pertanyaan kritis Kartini tentang esensi (hakikatnya) perempuan bila tak menikah atau beranak, hukum pernikahan, bahkan perpajakan kolonial dibacakan lantang. Dan inilah yang seharusnya dilakukan setiap 21 April, bersama-sama membaca pemikiran Kartini untuk melihat betapa relevannya dengan kondisi perempuan saat ini.

Memasuki ruang pameran yang dikurasi peneliti sejarah dari Universitas Indonesia, pengunjung dituntun menelusuri narasi dan artefak tokoh perempuan Indonesia. Dimulai dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi pada abad ke-14 hingga ke Cut Nyak Din dan Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata melawan Belanda.
Selain Kartini, pelopor pendidikan juga diwakili Dewi Sartika, Nyi Hajar Dewantoro, Nyai Achmad Dachlan dan Ruhana Kuddus. Ruhana bukan hanya membuka sekolah perempuan, sebagai jurnalis (wartawan), dia mendirikan koran (akhbar) Sunting Melayu pada tahun 1912. Nama surat khabarnya menginspirasi tajuk Sunting untuk pameran.
Pada era yang sama, Marie Thomas dan Anna Warouw menjadi murid perempuan pertama di sekolah kedoktoran STOVIA.
Pada era yang sama, Marie Thomas dan Anna Warouw menjadi murid perempuan pertama di sekolah kedoktoran STOVIA.


Pameran juga mengangkat perempuan yang mendobrak (memecahkan) belenggu gender (stereotaip jantina) dan mengukir prestasi setelah Indonesia merdeka, mulai dari jurnalis (wartawan) kritis SK Trimurti, filsuf (falsafawan) Toeti Heraty, sampai pejuang hak azasi Saparinah Sadli yang juga ketua pertama Komisi Nasional Perempuan.
Dari seni-budaya, pengunjung bisa melihat profil dan karya Runi Palar, Nunung WS, Dolorosa Sinaga, Astari Rasjid, dan 'band' perempuan Dara Puspita. Kotak khusus disiapkan untuk seniman serba bisa (serba boleh) Titiek Puspa yang baru sahaja wafat.
Di dinding yang sama ada Yayuk Basuki, pemegang peringkat tertinggi Persatuan Tenis Wanita (WTA) di antara pemain tenis Indonesia lainnya, yang pernah berhadapan dengan Martina Navratilova dan Steffi Graf di Wimbledon.
Dari seni-budaya, pengunjung bisa melihat profil dan karya Runi Palar, Nunung WS, Dolorosa Sinaga, Astari Rasjid, dan 'band' perempuan Dara Puspita. Kotak khusus disiapkan untuk seniman serba bisa (serba boleh) Titiek Puspa yang baru sahaja wafat.
Di dinding yang sama ada Yayuk Basuki, pemegang peringkat tertinggi Persatuan Tenis Wanita (WTA) di antara pemain tenis Indonesia lainnya, yang pernah berhadapan dengan Martina Navratilova dan Steffi Graf di Wimbledon.

Dalam 3 dinding panjang, linimasa (garis masa) dengan pencapaian tokoh perempuan bisa dibaca oleh pengunjung. Di akhir pameran pengunjung bisa menuliskan pesanan di kartupos yang digambar seniman muda Ika Vantiani.

Tentu masih lebih banyak tokoh perempuan yang pernah menorehkan prestasi dan mengubah nasib sesama perempuan, atau publik secara umum. dalam sejarah Indonesia. Namun untuk langkah keluar dari jebakan perayaan emansipasi wanita sebatas baju dan tata rambut Kartini, pameran ini senafas pesan Ruhana Kuddus untuk selalu membaca, seperti dikisahkan cucunya dalam multimedia (berbilang media) di pameran, dan torehan tangan Kartini sendiri seperti dikutip di bawah ini.
“Percakapan lisan boleh jadi akan terpateri dalam jiwa. Tetapi begitu banyak kata yang memudar seiring berjalannya waktu, sekali pun intinya tetap utuh. Hanya surat-suratlah yang dapat mengulang setiap kata dengan tepat, kapan pun juga dan sesering yang kita kehendaki.” (Kepada Eddie A, Agustus 1902)
“Adalah kewajiban setiap orang, yang lebih pandai dan beradab, untuk mendidik dan membimbing sesama anak bangsa yang masih terkebelakang, dengan kepandaian serta ilmunya yang lebih tinggi. Tak ada hukum yang mewajibkan berbuat demikian, selain rasa tanggungjawab dan kepedulian.” (Kepada Prof Anton, Juni 1901).
“Percakapan lisan boleh jadi akan terpateri dalam jiwa. Tetapi begitu banyak kata yang memudar seiring berjalannya waktu, sekali pun intinya tetap utuh. Hanya surat-suratlah yang dapat mengulang setiap kata dengan tepat, kapan pun juga dan sesering yang kita kehendaki.” (Kepada Eddie A, Agustus 1902)
“Adalah kewajiban setiap orang, yang lebih pandai dan beradab, untuk mendidik dan membimbing sesama anak bangsa yang masih terkebelakang, dengan kepandaian serta ilmunya yang lebih tinggi. Tak ada hukum yang mewajibkan berbuat demikian, selain rasa tanggungjawab dan kepedulian.” (Kepada Prof Anton, Juni 1901).

MENGENAI PENULIS

Lynda Ibrahim ialah penulis dari Jakarta.
Sumber : BERITA Mediacorp/im
Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini
Langgani buletin emel kami
Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.