NOTA DARI JAKARTA: Keunikan Sambutan Tahun Baharu Cina di Semarang dan Singkawang
Dalam perjalanan sejarahnya, kepulauan yang sekarang bernama Indonesia biasa didatangi berbagai bangsa pedagang, penyebar agama dan bahkan penjajah kolonial.

Tarian barongsai dalam perayaan Imlek, Klenteng Sam Poo Kong, Semarang, Januari 2017 (Gambar: Lynda Ibrahim)
Perantau Cina tercatat sampai ke Nusantara pada abad-abad awal milenia lalu dan terus berdatangan dalam gelombang yang berbeza sampai menjelang Indonesia merdeka pada 1945.
Imigran (Pendatang) Cina di Indonesia bertahap beradaptasi dan berasimilasi dengan budaya setempat, melahirkan budaya baharu yang kerap disebut sebagai Peranakan, serupa dengan di Singapura dan Malaysia. Disebut etnik Tionghoa (Cina) di Indonesia, jejak asimilasinya terlihat dalam sisi budaya banyak suku bangsa di Indonesia seperti Betawi, suku asli di Jakarta dan sekitarnya
Sebelumnya, umat (penganut) Konghucu dipaksa menuliskan agama lain dalam dokumen rasmi; mayoritas (majoriti) memilih Buddha, Katolik atau Kristian Protestan.
Tahun Baru Lunar (Tahun Baharu Cina), umumnya disebut Imlek atau Sincia di Indonesa, sekarang dirayakan besar-besaran oleh banyak kalangan. Klenteng (kuil) Konghucu dipenuhi umat yang beribadat, pusat perbelanjaan dipenuhi busana berwarna merah, dan tarian barongsai digelar (diadakan) di berbagai lokasi secara meriah.
Berdasarkan statistik, etnik Tionghoa di Indonesia tercatat hanya sekitar 5 peratus daripada 280 juta penduduk, relatif tersebar di seluruh Indonesia dengan kantong-kantong konsentrasi tertentu seperti pesisir Jawa, Medan, Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat.
Walaupun setiap puak Tionghoa merayakan rangkaian Imlek, Semarang dan Singkawang memiliki keunikannya yang tersendiri.
IMLEK DI SEMARANG
Ibu kota propinsi (wilayah) Jawa Tengah ini adalah salah satu kota tua di pesisir utara Jawa, garis pantai yang berabad-abad menjadi pintu bagi pedagang Cina merapat (berhimpun). Saat Belanda mula menguasai Jawa, Semarang menjadi salah satu kota penting. Sampai saat ini, kawasan kota tua Semarang dipenuhi gedung kolonial Belanda dan rumah antik Cina.


Klenteng Sam Poo Kong, yang sekarang telah dipugar (dinaik taraf) oleh Pemerintah Indonesia, dipercayai sebagai lokasi pendaratan dan pemukiman Laksamana Cheng Ho, perwira kekaisaran (keturunan) Cina yang dikhabarkan beragama Islam dan kerap melawat Asia Tenggara pada abad ke-14 hingga 15. Patung besar Cheng Ho berdiri gagah menghadap lapangan luas klenteng yang saat Imlek menjadi arena pertunjukan barongsai di hadapan ratusan pengunjung yang sebahagiannya datang dari luar kota.


Pasar Semawis adalah pasar malam yang diadakan di Pecinan (Chinatown) di tengah-tengah kota menjelang Imlek. Berbagai kedai, termasuk penjual makanan halal, disesaki pengunjung berbagai kalangan.
Kerana ramainya orang, wajar melihat pengunjung Tionghoa menikmati kuliner (jamuan) Cina semeja dengan pengunjung bertudung yang menyantap masakan halal dari kedai lainnya. Hiburan seperti wayang Potehi, perkawinan wayang (wayang kulit) Jawa dan Tionghoa, selain tarian barongsai, bisa ditemui.
Di Pasar Semawis, perbauran etnik dan suku terjadi dengan mudah dan indah.


CAP GO MEH DI SINGKAWANG
Bila Semarang diwarnai budaya etnik Tionghoa dan suku Jawa, maka Singkawang di Kalimantan Barat dipenuhi saling-silang etnik Tionghoa, suku Dayak dan suku Melayu Kalimantan setempat.
Dalam perayaan Cap Go Meh, semua elemen ini muncul semarak.
Cap Go Meh, malam ke-15, adalah purnama pertama Tahun Baharu Lunar. Perayaan ini sering disebut juga sebagai festival lampion (the lantern festival) atau festival cahaya (the festival of light) kerana banyaknya lampion yang dinyalakan di bawah sinar bulan purnama.
Cap Go Meh di Singkawang dirayakan melalui parade komunitas (perarakan masyarakat) Tionghoa dan para tatung (shaman) yang berjalan keliling kota sambil memperagakan atraksinya. Tampil dalam kondisi kesurupan (trance), sebuah keterampilan yang dikenal baik dalam budaya Dayak. para tatung ditandu dan dikelilingi pembantunya yang merapal mantra, sebahagian dalam dialek Cina.
Pria dan wanita, tua dan muda, Dayak dan Tionghoa, para tatung menusuk dan melukai tubuhnya dengan besi tajam tanpa mengeluarkan darah atau terlihat kesakitan; mata mereka terbelalak, kerap lurus menatap angkasa. Setelah parade (perarakan) selesai, akan ada upacara lain untuk membakar barongsai yang mengiringi para tatung beratraksi.


Penduduk Singkawang dan Pontianak terbiasa menyeberang dengan mobil (kereta) ke Malaysia untuk perjalanan pendek.
Jadi, tuan-tuan dan puan-puan sudah siapkah untuk melancong ke Semarang dan Singkawang?
MENGENAI PENULIS
Lynda Ibrahim ialah penulis dari Jakarta.
Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini
Langgani buletin emel kami
Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.