Skip to main content

Iklan

Iklan

Komentar

NOTA DARI JAKARTA: Kemelut Pilkada Jakarta masih belum berakhir

Anggaran Waktu Membaca:
NOTA DARI JAKARTA: Kemelut Pilkada Jakarta masih belum berakhir

(Gambar: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

JAKARTA: Tahun 2024 sungguh tahun politik bagi Indonesia. Setelah Pemilihan Presiden dan Anggota Parlimen pada 14 Februari, kepala daerah dipilih melalui Pilkada pada 27 November lalu.

Jabatan Gabenor, Walikota dan Bupati kali ini dipertaruhkan di gelanggang politik.

Jakarta memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Daerah selain Jakarta memilih pemimpin baharu berdasarkan suara tertinggi dalam satu putaran, berapa pun persentasenya (peratusannya). Namun khusus Jakarta, pemenangnya hanya bisa disahkan apabila mendapat 50 peratus + 1 suara. Bila peraih suara tertinggi tidak mendapatkan 50 peratus + 1 suara, maka putaran kedua harus dilakukan.

Pilkada Jakarta baru-baru ini diikuti 3 pasangan calon yang mewakili kubu berbeza. Ridwan Kamil, mantan Walikota Bandung dan Gabenor Jawa Barat, dicalonkan Golkar bersama Suswono, politisi (ahli politik) Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Calon gabenor Jakarta Ridwan Kamil (kiri) dan timbalan calon gabenor Suswono (kanan) (Gambar: ADITYA AJI / AFP)
Suswono kurang dikenali publik (orang ramai), namun PKS adalah partai berkader militer (anggota tentera) yang gigih mengumpulkan suara. Sebelum merapat ke kubu Prabowo-Gibran, PKS mendukung Anies Baswedan pada Pilpres lalu. Dalam Pilkada Jakarta, pasangan ini didukung penuh kubu pemenang Pilpres dan diumumkan pencalonannya sejak awal.
Politisi senior (ahli politik mapan) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Pramono Anung, berpasangan dengan Rano Karno. Sebelum terjun ke bidang politik dan menjadi Wakil Gabenor di salah satu propinsi (wilayah) dekat Jakarta, Rano membintangi banyak filem dan juga siri televisyen terkenal era 1990-an. Siri TV ini mengisahkan seorang putera Betawi, suku asli Jakarta , yang keluar dari stereotaip Betawi malas dan lulus kuliah sebagai insinyur (jurutera).
Tiga calon bersaing untuk jadi gabenor Jakarta. (Dari kiri) Ridwan Kamil, Dharma Pongrekun, Pramono Anung ketika di satu acara di ibu pejabat Polis Jakarta pada 21 Nov, 2024. (Gambar: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
Si Doel, nama tokoh (watak) yang diperankan (dipegang) oleh Rano, dipakai sebagai nama panggilannya termasuk selama kampanye (tempoh berkempen). Walau terakhir diumumkan pencalonannya, pasangan ini cepat menuai dukungan dari berbagai pihak termasuk dari Anies Baswedan.

Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana paling dipertanyakan publik. Desas-desus berkembang bahawa mereka “didorong” maju agar Ridwan-Suswono tidak menjadi pasangan tunggal di Pilkada Jakarta dan dicemuh bila menang. Cukup ajaib program kerja yang dicetuskan Dharma-Kun selama kampanye (tempoh berkempen), mulai dari penghapusan lampu lalu lintas untuk mengurai macet (kesesakan jalan raya), pembangunan jambatan dalam seminggu, sampai keyakinan Dharma bahawa elit global akan menguasai Jakarta melalui skema vaksinasi (program vaksinasi).

Akrobat politik (percaturan politik) Pilpres 2024 banyak menimbulkan kegusaran dan diperkirakan mempengaruhi minat publik untuk bersuara melalui Pilkada. Di hadapan Parlimen, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut secara nasional Pilkada 2024 hanya menarik 68% pemilih (pengundi), sementara Pilkada Jakarta 50% pemilih.

Terlepas dari rendahnya partisipasi pemilih (jumlah pengundi yang keluar mengundi), kampanye (tempoh berkempen) berlangsung cukup sengit. Bagi warga Jakarta, seolah-olah Pilpres berulang kembali. Mungkin kerana kepesertaan yang hanya setengahnya, hasil Pilkada Jakarta cukup tipis di atas ambang batas minimal.
Calon gabenor Jakarta Pramono Anung dan rakan seperjuangannya Rano Karno pada 27 Nov 2024. (Gambar: Nivell Rayda/CNA)
Pada 7 Disember malam, KPU mengumumkan Pramono-Rano menang dengan 50.07 peratus undi dari suara yang masuk, dan hal ini ditetapkan keesokannya. Dharma-Kun, yang secara mengejutkan mendapat 10.5 peratus suara (undi), menolak menandatangani dokumen hasil akhir.
Bangunan pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta. (Gambar: Yasuyoshi CHIBA / AFP)
Ridwan-Suswono (39.4 peratus suara), menuduh adanya kecurangan (penipuan), keluar ruangan saat penetapan KPU, dan konon bersiap menggugat hasil (keputusan) Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (Perlembagaan). Perlu diingat bahwa kubu ini pernah mendapatkan keputusan menguntungkan bagi langkah politiknya dalam Pilpres 2024.

Jadi, bagaimana nasib Jakarta? Mari meneropong (meninjau) kedua potensi drama.

SELESAI SATU PUTARAN

Bila kubu Ridwan-Suswono tidak berhasil mengganggu-gugat keputusan KPU, maka PDI-P yang sekarang di luar pemerintahan nasional akan punya daya tawar (bargaining position) melalui Jakarta. Terlepas rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara, yang sebenarnya juga masih jauh dari selesai. Jakarta tetap ibu kota niaga.

Hampir semua perusahaan besar berpusat di Jakarta, sebagaimana juga bursa saham dan pusat grosir (perdagangan borong) nasional. Konsentrasi terbesar sumber daya manusia berpendidikan dan berpenghasilan (berpendapatan) tinggi juga dimiliki Jakarta, dan mungkin tidak terlalu berubah setelah ibu kota pindah.

Ini bererti, Gabenor dan Wakil Gabenor Jakarta akan punya kendali terhadap penyumbang pendapatan negara yang signifikan dari demografi penduduk yang cenderung lebih kritis. Secara politis, ini posisi strategis (kedudukan strategik) yang bisa dipakai bukan hanya untuk “mengimbangi kekuasaan” pada periode (penggal) ini, tetapi juga memajukan calon tandingan pada periode berikutnya.

Dinamika politik akan lebih berwarna-warni dan bisa jadi lebih demokratis (demokratik), bila pusat administrasi (pentadbiran) dan pusat bisnes dikendalikan kubu berbeza.

Tentunya, bila kedua-dua pihak bersikap kekanak-kanakan, manuver (percaturan) politik juga bisa terlalu sering dan akhirnya menghambat jalannya negara.

Dengan lesunya perekonomian (ekonomi) Indonesia saat ini, tarik-menarik kekuasaan bisa menjadi penghambat atau pemercepat (accelerator).

TERPAKSA DUA PUTARAN

Bila Ridwan-Suswono berhasil mendapatkan kehendaknya melalui Mahkamah Konstitusi (Perlembagaan) untuk putaran kedua, pertarungan akan semakin sengit. Pramono-Rano berusaha mempertahankan suara (undi) yang telah didapatkan dan Ridwan-Suswono akan bertempur habis-habisan agar tidak kalah lagi.

Di titik ini, bisa jadi pemilih Jakarta tersedar pentingnya suara mereka dan kembali memberikan suaranya, sehingga hasil akhir (keputusan muktamad) Pilkada tidak menyisakan ruang untuk mencurigai kecurangan. Atau warga Jakarta semakin apatis (tidak peduli).

Bila Ridwan-Suswono menang di putaran kedua, ini bererti kubu Prabowo-Gibran juga memenangi mayoritas(majoriti) pemerintahan daerah di Jawa, pulau terpadat dan terpenting di Indonesia dari berbagai aspek, dan tentunya memuluskan jalan untuk Pilpres 2029.

Bila Pramono-Rano kembali menang, kedudukan PDI-P akan lebih kukuh dan warga Jakarta akan punya pembanding antara pemerintahan daerah dengan nasional. Bagi rakyat Indonesia lainnya, akan ada wacana lain tentang tokoh politik di luar rejim yang berkuasa.

Namun tidak terbantahkan, kemungkinan mana pun yang terjadi, drama akan menyertai Jakarta paling tidak sampai lima tahun mendatang.

MENGENAI PENULIS

Lynda Ibrahim ialah penulis dari Jakarta.

Sumber : BERITA Mediacorp/ss
Anda suka apa yang anda baca? Ikuti perkembangan terkini dengan mengikuti kami di Facebook, Instagram, TikTok dan Telegram!

Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini

Langgani buletin emel kami

Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.

Iklan

Lebih banyak artikel Berita

Iklan