Skip to main content

Iklan

Iklan

Komentar

NOTA DARI JAKARTA: Kembalinya Kesedaran Demokrasi Rakyat Indonesia

Anggaran Waktu Membaca:
NOTA DARI JAKARTA: Kembalinya Kesedaran Demokrasi Rakyat Indonesia

Para penunjuk perasaan mencuba memasuki parlimen Indonesia pada 22 Ogos 2024. (Gambar: Dita Alangkara/AP)

JAKARTA: Khamis 22 Agustus (Ogos) 2024, rakyat Indonesia kembali berunjuk rasa (mengadakan tunjuk perasaan) secara massal (besar-besaran) ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Didominasi mahasiswa, massa juga diwarnai kalangan pekerja dan pesohor. Yang tidak bisa ikut turun ke jalan, ramai menyuarakan protes (bantahan) di media sosial X/Twitter dan Instagram melalui unggahan berantai atau peribadi.

Apa yang memicu protes (bantahan) besar kali ini?

RENTETAN PUTUSAN HUKUM

Baru-baru ini, Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahawa batas usia Kepala Daerah adalah 30 tahun saat dilantik, sedang penafsiran hukum sebelumnya adalah saat mendaftar sebagai kandidat (calon). Seketika hal ini diertikan sebagai upaya agar putera bongsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, bisa maju di Pemilihan Gabenor Jawa Tengah atau Jakarta.

Kaesang baru akan genap 30 tahun pada akhir 2024, sedang batas pendaftaran adalah akhir Ogos ini dengan pelantikan awal 2025. Saat ini Bobby Nasution, menantu Jokowi, yang sedang menjabat (menyandang) jawatan Walikota Medan, akan maju ke Pemilihan Gabenor Sumatera Utara.

Di tahun-tahun awal kekuasaan ayahnya, Kaesang dikenali sebagai pengusaha pisang goreng dan berkali-kali berucap tak tertarik politik. Tahun lalu dia mendadak menjadi ketua Partai Solidaritas Indonesia, partai kecil baharu yang setia mendukung Jokowi dan lalu mendukung Gibran Rakabuming Raka, kakak Kaesang, di Pilpres 2024 (Pilihan Raya Presiden 2024). Gibran bisa maju kerana Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Perlembagaan), yang saat itu diketuai pamannya (pakciknya), menurunkan batas minimal usia (had usia minimum) kandidat (calon) Pilpres.

Sang paman, Anwar Usman, kemudian dianggap melanggar etika dan diturunkan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi.
Pada Selasa 20 Ogos lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan, atas uji materi yang diajukan beberapa mahasiswa hukum, bahawa batas usia kandidat (calon) kepala daerah adalah tetap, iaitu diukur dari pendaftaran dan bukannya pelantikan. Putusan MK bersifat final (muktamad) dan mengikat.

MANUVER DPR

Langsung sehari setelah putusan MK di atas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan sidang kilat untuk “menafsirkan” putusan MK dan membandingkannya dengan putusan Mahkamah Agung (MA).

Di sini pengamat politik, aktivis demokrasi dan publik (orang ramai) tersentak kerana untuk pasal konstitusi (perlembagaan) tentunya MK memiliki otoritas (bidang kuasa) tertinggi.

Dari sidang DPR yang diberitakan luas, terlihat mayoritas (majoriti) partai politik, dengan pengecualian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sedang berseberangan dengan Jokowi, cenderung mengabaikan MK.

DPR yang dikenal butuh bulanan dan tahunan dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang, tiba-tiba berniat ketuk palu dalam sehari berselang.

Presiden Jokowi yang diserbu wartawan pun menjawab bahawa perbezaan opini (pendapat) kedua institusi hukum biasa, sementara tahun lalu, saat putusan MK menguntungkan Gibran, ia menjawab putusan MK bersifat final (muktamad) dan mengikat.

Pada saat yang sama, partai politik Golkar mengalami perubahan kepemimpinan mendadak yang ramai diatribusikan (mengaitkannya) dengan campur tangan Jokowi.

Media konvensional dan sosial mulai memanas, Rabu malam 21 Ogos juga sebahagian mahasiswa mulai bergerak ke DPR dan massa membesar keesokannya.

Jajaran guru besar Universitas Indonesia mengeluarkan pernyataan keras; dosen (tenaga pengajar pengajian tinggi) di beberapa universitas mempersilakan muridnya bolos (ponteng kuliah) demi unjuk rasa (tunjuk perasaan).

Komika (pelawak) terkenal Bintang Emon dan Arie Kriting, desainer mode (pereka fesyen) papan atas Toton Januar, juga aktor popular Reza Rahadian Matulessy, ikut berdemonstrasi. Para komika memimpin lagu dan yel-yel, Reza berorasi (berucap) di atas mobil (kenderaan) terbuka.
 
(Ihsan: Toton Januar)
(Ihsan: Toton Januar)
(Ihsan: Toton Januar)
(Ihsan: Toton Januar)

Di media sosial, mulai dari seniman, penulis buku anak, 'beauty vlogger' sampai akaun-akaun peminat K-pop, yang terakhir diketahui banyak Gen Z dan pendukung Prabowo-Gibran sebelumnya, meneriakkan kekecewaan atas manuver-manuver (langkah) elit politik demi pelanggengan dinasti Jokowi yang dianggap memangkas demokrasi. Demonstrasi juga terjadi di beberapa kota lain, termasuk di Solo, kota asal keluarga Jokowi.
Makin memanaskan publik (orang ramai) adalah pada hari-hari dinamika ini terjadi, unggahan (catatan) Instagram Story dari Erina Gudono, isteri Kaesang, tampak tak peduli.

Mendarat di Amerika Syarikat untuk melanjutkan studi (pengajian), terlihat pasangan ini naik pesawat privet, meromantisir 'babymoon' selama kehamilan Erina, berbelanja kebutuhan bayi, sampai pelesir ke pusat perbelanjaan mewah Rodeo Drive di Los Angeles.

Unggahan yang paling mengusik netizen adalah sepotong roti yang disebut Erina berharga Rp 400.000. Benar lemahnya mata wang Rupiah membuat banyak hal di luar negeri jadi mahal, tapi yang nampaknya dilupakan Erina adalah bukan saja angka itu senilai honor (gaji) bulanan guru di pedalaman, saat ini Garis Kemiskinan Makanan Indonesia ada di Rp 408.011 perorang perbulan (setiap orang sebulan).

Dengan wang seharga roti itu, banyak orang miskin yang harus mencukupkan makan sebulan. Ironinya, mengingat Erina adalah anak dosen universitas (pensyarah universiti) dan ke Amerika Syarikat untuk studi (pengajian) keadilan sosial. Alhasil, akaun Instagram milik Erina diserbu ribuan kritik, banyak yang menyebutnya Marie Antoinette versi indonesia.

Setelah matahari terbenam Khamis lalu, Fraksi PDIP di DPR akhirnya menemui mahasiswa yang sudah berhasil menjebol pagar DPR. Tak lama sesudahnya, Wakil Ketua DPR mengadakan jumpa pers (wartawan) untuk menyatakan bahawa, kerana rapat hari itu tidak mencapai kuorum, DPR akan menuruti putusan MK.

KEMBALINYA KESEDARAN DEMOKRASI RAKYAT?

Menarik diamati banyak orang yang tadinya setia mendukung Jokowi, makin lantang mencerca politik dinasti.

Bahkan sebahagian pemilih Prabowo-Gibran nampak menarik batas saat Kaesang akan dimudahkan masuk gelanggang. Bisa jadi publik (orang ramai) mulai sedar bahawa keluarga penguasa bukan demokrasi, tapi monarki.

Bisa jadi juga kerana makin sulitnya hidup tahun ini, di mana harga-harga membumbung tinggi, pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi, sedang lapangan pekerjaan tetap sedikit.
Median umur populasi (penduduk) Indonesia saat ini di bawah 30 tahun, sehingga banyak perusahaan mematok (menghadkan) usia pelamar (pemohon) pekerjaan maksimal 25-27 tahun; korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berusia 30-an tahun sulit mendapatkan pekerjaan baharu.

Data Bank Dunia menunjukkan kelas menengah (pertengahan) yang berkembang pesat setelah Reformasi 1998, mengerut (merosot) di era Jokowi. Perayaan Kemerdekaan 17 Ogos lalu di ibu kota baharu Nusantara, yang harusnya menjadi warisan kebanggaan Jokowi, diwarnai protes (bantahan) nyaring publik yang merasa hidup sulit, namun negara membuang-buang anggaran untuk memaksakan perayaan di ibu kota baharu yang jauh dari siap.

Apakah gelombang protes ini akan sebesar 1998?

Situasinya agak berbeza. Kelas menengah (pertengahan) terdidik saat ini tetap lebih banyak dan bekerja formal dibandingkan saat itu. Imbas internasional seperti Krisis Moneter (Krisis Kewangan) Asia 1997 atau sentimen rasisme juga tiada.

Tapi, seperti yang diingatkan ekonomi dan mantan Menteri Kewangan Chatib Basri sejak akhir 2023 memakai contoh Paradoks Chile, kelas menengah yang terdidik tidak bisa hanya dibuai keamanan ekonomi saat ketidakadilan dan ketimpangan terus membara.

Wajar bagi seorang penguasa untuk menyiapkan warisan kerja dan mengkonsolidasikan (mengukuhkan) kekuasaan sebelum lengser (melepaskan jawatan).

Di tingkat akar rumput, Jokowi tetap panen pengagum (masih dikagumi). Tapi melihat reaksi keras warga urban (bandar) minggu ini saat hukum makin ditelikung demi memperpanjang kuasa, para elit politik harus berfikir dalam tentang masa depan Indonesia.

Kalau negara ricuh terus (terus bergolak), semua indikator ekonomi dan sosial akan mundur - bahkan bisnes para oligarki pendukung partai pun bisa tergerus (terjejas).

Sepadankah mengorbankan 280 juta anak bangsa demi secabang keluarga?

Di titik mana elit politik Indonesia berani meredam kerakusan sesamanya? Buat apa membesarkan sederet partai bila hujungnya hanya dinasti?

Meminjam ucapan aktor Reza Rahadian di depan DPR, ini bukan negara milik keluarga tertentu. Demonstrasi mereda kerana DPR berjanji menuruti MK.

Namun, bila manuver (langkah) kotor terus terjadi, tidak mustahil rakyat akan turun ke jalan seperti 1998. Para komika (pelawak) kelmarin berkata, bila pejabat mulai melawak maka komika akan melawan. Saat penguasa kian keterlaluan, sejarah sudah menunjukkan, rakyat Indonesia akhirnya selalu melawan.


MENGENAI PENULIS
Lynda Ibrahim ialah penulis dari Jakarta.
Sumber : BERITA Mediacorp/aq
Anda suka apa yang anda baca? Ikuti perkembangan terkini dengan mengikuti kami di Facebook, Instagram, TikTok dan Telegram!

Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini

Langgani buletin emel kami

Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.

Iklan

Lebih banyak artikel Berita

Iklan