NOTA DARI JAKARTA: Karya seniman Indonesia kian menyerlah, curi perhatian Minggu Seni SG
Dari perbincangan kami, jelas mereka datang bukan kerana penasaran (minat) akan sesuatu hal asing, namun kerana sudah faham dengan dunia seni kontemporari Indonesia.
Selama Minggu Seni Singapura (SAW) pada awal tahun 2023, saya mencuba menelusuri jejak seniman kontemporari Indonesia di Singapura saat ini.
Dimulai dari 'art fair' terbaru Singapura, Art SG, yang digelar selama empat hari di kedua lantai pameran Marina Bay Sands. Dua galeri Indonesia dan Museum MACAN berpartisipasi, sedangkan karya seniman Indonesia juga dibawa beberapa galeri Singapura dan negara jiran lainnya.
Gajah Gallery dan Yeo Workshop, keduanya berpusat di Singapura, membawa karya seniman kontemporari Indonesia, dari yang sudah terkenal sampai yang kariernya baru masuk kancah internasional.
Dikenal dengan sapuan kuas tebal dan bertekstur, lukisan Erizal AS menghiasi sudut booth Gajah Gallery. Dari situ, anda bisa mengedarkan mata dan menemukan lukisan hutan berdaun kuning Mangu Putra, imaginasi kucing merah Yunizar, dan sentilan nakal IGA Murniasih atas seksualitas wanita. Lukisan besar Rudi Mantofani yang menggambarkan peta Indonesia terpampang di sudut pengunjung berlalu-lalang.
Lukisan-lukisannya digantung di kayu antik berujung ukiran khas Bali.
Mereka juga berkolaborasi dengan desainer (pereka) Lulu Lutfi Labibi untuk sebuah koleksi busana beberapa tahun lalu.
Mengilustrasikan naga raksasa yang hidup di dalam perut gunung berapi yang sarat simbol kekuasaan, Heri Dono seolah ingin menggambarkan Indonesia, yang dipenuhi ratusan gunung berapi aktif dan tangan-tangan kekuasaan yang selalu ingin menguasai kekayaan alam Indonesia.
Penggemar Eko di Singapura mungkin masih ingat instalasi besarnya di Muzium Seni Singapura pada tahun 2017, bersamaan dengan pameran Yayoi Kusama di Galeri Nasional Singapura.
Menarik mendengar cerita gallerist Arario bahawa karya Eko Nugroho dan Uji Handoko selalu diterima baik oleh pencinta seni muda saat dipamerkan di Korea Selatan, walau selera kolektornya masih cenderung pada karya berwarna konservatif dan tidak figuratif.
Khusus untuk Indonesia, ia menilai talenta (bakat) seni kontemporarinya mengagumkan, salah satu yang terkuat di dunia. Renfrew berharap Art SG menjadi jambatan untuk memupuk lebih jauh minat kolektor dunia terhadap karya seni dari Indonesia.
Mungkin ini juga yang ada difahami ArtSociates, galeri seni dari Bandung, yang membawa serangkaian karya Eddy Susanto. Berbekal manuskrip kuno Babad Tanah Jawi dan Pararaton, Eddy merekonstruksi teks sejarah dalam bentuk gambar (drawing) untuk mengilustrasikan Batavia (nama kolonial Jakarta) tahun 1619, Kuala Lumpur 1850 dan Singapura 1819.
Andonowati, direktur galeri, bercerita bahawa lukisan Singapura 1819 dan beberapa karya seniman lain di galerinya telah dibeli kolektor Singapura, salah satunya untuk dipajang (dipamerkan) di sebuah resort di Jepang (Jepun).
Terpampang di etalase (ruang pameran) Sphere, sebuah ruang komunal, menghadap ke kawasan perkantoran, adalah karya Iabadiou Piko, salah satu seniman muda Indonesia yang popular beberapa tahun terakhir ini. Masuk ke dalam, ada lagi beberapa karya Piko dan Didin Jirot, perupa muda dengan karya sculpture (arca) yang mulai diperbincangkan oleh penggemar seni Indonesia.
Bowen You, salah satu pengelola Sphere, menuturkan bahawa sebahagian karya seniman Indonesia di Sphere telah dikoleksi oleh warga Singapura. You juga sempat menceritakan fenomena baru dari kolektor muda Singapura untuk memajang (mempamerkan) koleksinya di tempat umum, bukan di apartmen, agar bisa dinikmati lebih banyak orang.
Praktek menarik bagi saya, mengingat saya sering mendengar di kebiasaan kolektor senior (mapan) untuk menyimpan karya seni asli di gudang dan hanya memajang replika di rumah demi alasan keamanan. Beza generasi, beza cara berfikir.
Jalur lalu-lalang yang dilewati dari tempat parkir, mural tersebut jenaka dan membaur dengan poster-poster pertunjukan di Esplanade sebelumnya, termasuk pertunjukan dari Papermoon Puppet sendiri, kelompok teater boneka yang didirikan Iwan dan istrinya, Ria.
Saat ini, di atrium Esplanade, instalasi Papermoon Puppet terbentang luas, seketika menarik perhatian siapa pun yang melintasinya.
Sayang saya tidak berkesempatan berbincang langsung, namun dari biodata yang tertera di Orchard 22, lokasi pameran, saya mengetahui bahwa Daniel lahir dan dibesarkan di Sau Paulo. Nampaknya Daniel masih memahami sedikit Bahasa Indonesia dari ayahnya kerana kata “busuk” yang ia pakai untuk karyanya sangat pas interpretasinya.
Instalasinya di lantai dua mengingatkan saya akan kekayaan flora di Brazil dan Indonesia, dua negara yang paling banyak memilikinya di dunia dan kebetulan melatarbelakangi identitas Daniel Lie.
SAW, seperti biasa, menyajikan karya-karya seni yang berkualiti, yang memancing kita untuk berdiskusi bernas. Dan tahun ini, tidak dipungkiri (dinafikan) saya bangga menyaksikan Indonesia, jiran terbesar Singapura, memberikan sumbangsih yang penuh warna dan kaya makna.
MENGENAI PENULIS:
Lynda Ibrahim adalah penulis dari Jakarta.
Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini
Langgani buletin emel kami
Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.