Skip to main content

Iklan

Iklan

Komentar

NOTA DARI JAKARTA: Artjog - Karya Seni Unik

Anggaran Waktu Membaca:
NOTA DARI JAKARTA: Artjog - Karya Seni Unik

Seorang pengunjung di pameran karya Nasirun, Sangkring Art, Yogyakarta. (Gambar: Lynda Ibrahim)

JAKARTA: Yogyakarta, di tengah-tengah Pulau Jawa, kaya dengan seni tradisional dan moden.

Warisan seni tradisional datang dari dan dilestarikan oleh dua garis monarki Jawa, Adipati Pakualam dan Sultan Hamengkubuwono, yang bertakhta di Yogyakarta sekian generasi sebelum Indonesia merdeka.

Seni rupa moden hidup berkembang dari keberadaan sekolah tinggi seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), galeri, komunitas (masyarakat) seni, dan pesta seni bergengsi Artjog. Begitu banyak alumni ISI yang walaupun karyanya telah mendunia (meluas ke seluruh dunia) tetap berumah di Yogyakarta, kadang-kadang sambil membina komunitas berkesenian (masyarakat seni).

Tiap tahunnya, pembukaan Artjog diiringi dengan pembukaan pameran di galeri seantero Yogyakarta, menawarkan Bulan Seni Yogya yang telah dikenali masyarakat seni rupa serantau
Mari menengok karya tahun ini, baik di Yogyakarta dan Jakarta, dari talenta-talenta (bakat-bakat) seni berkelas yang berhulu (berasal) dari Yogyakarta.

Artjog

Memasuki tahun ke-16, Artjog menyajikan narasi mulai dari politik, agama, rasisme, identitas (jati diri), sampai ketimpangan relasi kuasa antara gender (hubungan kuasa antara jantina). Karya dalam berbagai medium dari seniman lintas generasi memenuhi ketiga-tiga lantai di dalam gedung serba putih Jogja National Museum (JNM).

Kekuasaan dan lapisan identitas (identiti) dilambungkan oleh Mella Jaarsma, seniman kelahiran Belanda yang lama berkarya di Indonesia. Mengulangi kesuksesan (kejayaan) performance art (seni persembahan) dan instalasinya di Art Basel Hong Kong 2023, Jaarsma menelurkan (menghasilkan) instalasi dan seni persembahan bertema yang berbeza untuk Artjog 2023 menggunakan simbol militer (ketenteraan) dan rumah limasan (atap).
Karya Mella Jaarsma. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Dicky Takndare & The Sampari memotret konflik berdarah berkepanjangan di Papua, propinsi (wilayah) tertimur Indonesia, yang telah memakan banyak korban sekian dekade (dekad), termasuk rakyat sipil (orang awam) tidak bersalah.
Karya Dicky Takndare & The Sampari. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Bibiana Lee mengajak pengunjung “memerangi” isu sosial seperti rasisme (perkauman) dan xenophobia melalui instalasi penuh samsak tinju (beg pasir) yang memungkinkan pengunjung memukulinya menggunakan sarung tinju yang tersedia. Semua perangkat (alat perlengkapan) tinju dibalut warna mirip panel tes (ujian) buta warna.

Memotret bertolakbelakangnya sifat alami dan perindustrian, Nurdian Ichsan menyajikan karya dari tanah liat dan kabel metal yang memukau di salah satu sudut dekat tangga JNM.
Karya Nursian Ichsan. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Kohesi Initiatives

Berlokasi (bertempat) di Tirtodipuran yang dipenuhi banyak galeri seni, galeri ini kali ini mengusung tema kekuasaan melalui pameran solo dari seniman senior (mapan) Heri Dono dan Jompet Kuswidananto yang walaupun berdiri sendiri narasinya saling menunjang.

Banyak mengkritik kekuasaan absolut (mutlak) Soeharto saat Orde Lama, beberapa instalasi Heri yang direka ulang saat ini dulunya hanya bisa dipamerkan di luar Indonesia. Jompet setia pada penghancuran beberapa simbol kekuasaan, seperti lampu kristal dan koin (duit syiling) kolonial untuk mengilusrasikan perlawanan (membuat perbandingan) dalam karyanya.
Karya Heri Dono, Kohesi Initiatives Tirtodipuran, Yogyakarta. (Gambar: Lynda Ibrahim)
Karya Jompet Kuswidananto, Kohesi Initiatives Tirtodipuran. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Seni Cemeti

Sekelompok seniman perempuan yang tergabung dalam Perempuan Pengkaji Seni (PPS) membingkai beberapa persoalan sosial seperti dampak (kesan)bencana pada rumah di pedesaan dan upah murah untuk buruh perempuan di pabrik garmen (fabrik pakaian), salah satu industri padat karya yang menyokong perekonomian Indonesia.
Karya Perempuan Pengkaji Seni, Cemeti Art. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Sarang Seni Budaya

Terbentuk dari beberapa galeri berbagai ukuran, Sarang Seni Budaya tahun ini menampilkan pameran yang berbeza-beza di tiap galerinya, termasuk pameran solo dari Nadiah Bamadhaj, seniman kelahiran Malaysia yang banyak berkarya di Indonesia dan tahun ini bersama pelaku seni senior (mapan) Hendro Wiyanto bertugas sebagai kurator Artjog.

Karya-menarik lain dari perupa (seniman reka bentuk) seperti Apin, Palito Perak dan Enggar Rhomadioni juga memenuhi kompleks Sarang.
Lukisan Enggar Rhomadioni, Sarang Seni Budaya. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Seni Sangkring

Juga terbentuk dari beberapa galeri untuk medium seni yang berbeza-beza dan dikelola pasangan seniman Putu Sutawijaya dan Jenni Vi Mee Yei, tahun ini Sangkring menawarkan karya komunitas perupa (masyarakat seniman reka bentuk) Bali di galeri depan, karya perupa senior (mapan) Nasirun yang tekun menggali budaya Jawa di galeri tengah, dan sederet perupa berbakat seperti Dedy Sufriadi, yang karyanya ditampilkan di Art Central Hong Kong 2023, di galeri belakang.
Karya Nyoman Adiana, Sangkring Art. (Gambar: Lynda Ibrahim)
Karya Nyoman Adiana, Sangkring Art. (Gambar: Lynda Ibrahim)
Seorang pengunjung di depan karya Dedy Sufriadi, Sangkring Art. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Masyarakat Seni Sakato

Terbentuk dari para seniman muda dari Sumatera yang merantau ke pusaran seni moden di Yogyakarta, komunitas (masyarakat) ini bertahun-tahun menelurkan (menghasilkan) pameran bersama bertajuk Bakaba.

Nama-nama seperti Erizal AS, Yunizar, Iabadiou Piko dan Oktaviyani, sebahagian daripada mereka meramaikan Art SG 2023 lahir dari komunitas (masyarakat) ini. Tahun ini Sakato memilih melakukan pameran karya berukuran kecil di sekretariatnya.
Suasananya intim dan tidak intimidatif (menggerunkan), dengan harga karya yang cukup terjangkau (dimampui) bagi kolektor pemula.
Dinding pameran Sekretariat Sakato Art Community. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Srisasanti Gallery

Luwes menyandingkan kuliner (bidang masakan) dengan seni rupa, Srisasanti yang baru merenovasi (mengubah elok)restorannya, menghadirkan pameran solo Gede Mahendra Yasa di galeri atas.

Seruangan penuh karya abstrak mewakili langkah sang seniman kembali ke modernisme setelah menghabiskan waktu cukup lama berkecimpung di seni kontemporer (kontemporari). Malam pembukaan pamerannya dipenuhi berbagai seniman ternama dari Yogyakarta dan kolektor dari Jakarta.
Gede Mahendra Yasa di pembukaan pamerannya, Srisasanti Gallery. (Gambar: Lynda Ibrahim)

ISA Art Gallery

Menggabungkan galeri, kuliner (bidang masakan) dan ritel (runcit) dalam satu lokasi yang menyenangkan untuk bersantai, kali ini galeri ISA menyajikan karya Sekarputi Sidhiawati dan Mulyana Mogus, yang terakhir dikenali sebagai seniman pembuka Artjog pada tahun 2018 dengan ruangan penuh rajutan (jaring)yang menggambarkan karang di dasar lautan.

Setia memakai teknik rajutan (jaring), kali ini karya Mulyana berbentuk patung atau panel dinding.
Karya Mulyana Mogus, ISA Art Gallery. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Gajah Gallery

Berpusat di Singapura, Gajah Gallery secara konsisten membawa karya-karya terbaik dari Asia Tenggara selama beberapa tahun terakhir ini, termasuk pada Art SG di awal tahun ini. Tahun ini, Yogya Art Lab yang digagas (diasaskan) oleh pendiri Gajah Gallery, Jasdeep Sandhu, dan seniman kawakan Yogyakarta, Yunizar, berulang tahun ke-10 dan memenuhi kedua lantai galeri dengan patung-patung terbaik mereka.
Karya para seniman Yogya Art Lab, Gajah Gallery. (Gambar: Lynda Ibrahim)

Langgeng Art Foundation

Seni grafis (bersifat grafik) yang sempat dianggap tidak sebergengsi lukisan dan patung disajikan dengan amat baik oleh LAF tahun ini. Berbagai teknik litografi, intaglio dan cetak saring dari sederet perupa (seniman) muda berbakat seperti Kemalezedine, Kanoko Takaya dan Erica Hestu Wahyuni memenuhi lantai bawah.

Di lantai atas, pameran solo Goenawan Mohamad, kolumnis legendaris Indonesia yang merambah (beralih) ke seni rupa beberapa tahun terakhir ini, menyajikan karya yang salah satu inspirasinya datang dari kisah Mahabharata.
Goenawan Mohamad bersama karya-karyanya. (Gambar-gambar: Lynda Ibrahim)

Greenhost Hotel

Begitu suburnya seni rupa di Yogyakarta, bahkan lobi hotel seperti Greenhost Hotel dan Artotel kerap diisi pameran seni.

Pameran seni di Greenhost Hotel kali ini diikuti salah satunya Hono Sun yang terkenal dengan guratan kuas (alat melukis) yang membentuk pohon rendang berwarna menyolok.
Lukisan karya Hono Sun, lobi Greenhost Hotel, Yogyakarta. (Gambar: Lynda Ibrahim)

ROH Projects Jakarta

Ya, anda tidak salah baca. ROH Projects berlokasi (bertempat) di Jakarta, satu-satunya galeri seni Indonesia yang berpartisipasi (menyertai) Art Basel Hong Kong 2023. Namun kali ini, ROH menjadi lokasi pameran solo Eko Nugroho, salah satu talenta (bakat) seni paling terkenal dari Yogyakarta yang telah melanglang (mengembara) dunia.

Pada tahun 2013, Eko Nugroho termasuk dari segelintir seniman yang mendapat projek dari Louis Vuitton untuk mendesainkan skarf sutra. Eko juga termasuk talenta (bakat) seni yang karyanya dipamerkan di Frankfurt saat Indonesia menjadi fokus dari Pesta Buku Frankfurt 2015; tahun itu pula Eko terakhir berpameran solo di Jakarta.

Kembalinya Eko ke Jakarta tahun ini disambut ramai media dan pencinta seni Jakarta, yang mungkin malah lebih sering menemui karya Eko di pameran-pameran internasional (antarabangsa).

Pameran solonya kali ini berfokus kepada renungan Eko terhadap fenomena manusia teralienasi (terpinggir) dan dikotomi penokohan pahlawan 'versus' penjahat, di mana pahlawan bagi suatu kelompok bisa menjadi penjahat bagi kelompok lainnya. Setia pada beberapa simbol khasnya seperti mata mengintip, tangan bercapit, benda mirip piring terbang dan tabung gas, Eko melakukan eksplorasi lebih jauh dengan medium bordir (hiasan dari benang menjadi sulaman) dan sampah plastik melalui kolaborasi dengan komunitas (masyarakat) terkait, sesuatu yang ia nyatakan akan dilakukan sebagai kerjasama jangka panjang.
Karya Eko Nugroho, ROH Projects. (Gambar: Lynda Ibrahim)
Eko Nugroho bersama salah satu karyanya yang memakai sampah plastik. (Gambar: Lynda Ibrahim)

MENGENAI PENULIS
Lynda Ibrahim adalah penulis dari Jakarta.
Sumber : BERITA Mediacorp/aq
Anda suka apa yang anda baca? Ikuti perkembangan terkini dengan mengikuti kami di Facebook, Instagram, TikTok dan Telegram!

Ikuti perkembangan kami dan dapatkan Berita Terkini

Langgani buletin emel kami

Dengan mengklik hantar, saya bersetuju data peribadi saya boleh digunakan untuk menghantar artikel dari Berita, tawaran promosi dan juga untuk penyelidikan dan analisis.

Iklan

Lebih banyak artikel Berita

Iklan